![]() |
| TPST Bantargebang |
inijabar.com, Kota Bekasi- Ada satu keajaiban birokrasi di Kota Bekasi yang patut diteliti ilmuwan sosial: uang bantuan bisa salah sasaran, tapi selalu tepat waktu cairnya. Kasus dugaan korupsi BLT kompensasi TPST Bantargebang senilai Rp6,8 miliar menjadi bukti bahwa dalam urusan bantuan sosial, yang cepat bukanlah keadilan melainkan kreativitas manipulasi data.
BLT yang awalnya dirancang sebagai kompensasi bagi warga yang hidup berdampingan dengan gunung sampah, justru berubah menjadi gunung peluang. Di sana, data bisa beranak-pinak: satu nama bisa muncul dua kali, warga tak terdampak bisa ikut merasakan 'derita', sementara yang benar-benar mencium bau sampah setiap hari justru absen dari daftar.
Ini bukan sekadar salah input. Ini salah niat.
Jaringan Patriot Muda Bekasi (JAPMI) membaca skema ini bukan sebagai keteledoran staf kelurahan yang kelelahan, melainkan orkestra anggaran yang dimainkan dengan rapi. Sebab, dalam logika keuangan daerah, dana miliaran rupiah tidak mungkin berjalan sendiri seperti zombie administratif. Ada yang membuka pintu. Ada yang mematikan lampu pengawasan. Dan ada yang berpura-pura tidak mendengar.
Lebih ironis, ketika dugaan pencairan anggaran tak sesuai mekanisme mulai tercium, narasi lama kembali dipoles: “ini hanya kesalahan teknis”. Kalimat sakti yang bisa mengubah kejahatan anggaran menjadi musibah alam. Padahal, alam saja butuh sebab apalagi korupsi.
Ketua JAPMI, Muhamad Bayu menyebut kasus BLT Bantargebang sebagai cermin buram tata kelola bantuan sosial di Kota Bekasi. Sebuah cermin yang sayangnya sering ditutup kain agar tidak terlalu jujur. Jika kasus ini berhenti di level operator bawah, publik pantas curiga: yang diselamatkan bukan anggaran, tapi aktor.
Wali Kota Bekasi diminta bertanggung jawab secara politik dan moral. Tapi di negeri ini, tanggung jawab seringkali hanya muncul dalam bentuk konferensi pers. Sementara DPRD sebagai lembaga pengawas ditunggu publik agar tidak kembali memainkan peran favoritnya: menonton sambil mencatat untuk arsip lupa.
Desakan JAPMI agar KPK turun tangan dan audit forensik digelar adalah upaya menarik tirai panggung. Sebab, tanpa pembongkaran total, BLT Bantargebang hanya akan menjadi episode lain dari sinetron panjang bantuan sosial: judulnya rakyat, pemerannya elite, dan penontonnya warga yang kembali dikecewakan.
JAPMI menegaskan, diamnya negara dalam kasus ini sama dengan mengamini perampokan uang rakyat. Dan jika hukum kembali tumpul ke atas, maka pemerintah harus siap membayar mahal bukan dengan uang, tapi dengan kepercayaan publik yang semakin tipis, setipis data penerima BLT yang mudah dihapus dan ditambah.
Di Bantargebang, sampah memang menumpuk setiap hari. Tapi yang lebih berbahaya adalah ketika akhlak birokrasi ikut dikubur di sana, lalu diberi label: kesalahan administratif.
“Jika hukum tumpul ke atas, maka krisis kepercayaan publik akan menjadi harga yang harus dibayar oleh pemerintah,”ujar Muhamad Bayu.(*)




