![]() |
| Masyarakat berbagai lapisan dan tidak hanya dari sekitar Subang yang datang ke Lembur Pakuan |
KALAU bertanya ke orang Subang, bahkan ke warga Dawuan sekalipun, “Rawalele itu di mana?” jawabannya sering butuh jeda. Tapi kalau menyebut, 'Lembur Pakuan,' kepala langsung manggut.
Ada yang langsung ingat langsung Bapa Aing Dedi Mulyadi hutan bambu, ada juga yang terbayang suasana kampung adat, ada juga yang spontan bilang, “Oh itu tempat healing murah meriah.”
Di sinilah ironi kecil itu bermula: nama kampungnya kalah pamor dari nama lemburnya sendiri.
Lembur Lebih Populer dari Administrasi
Rawalele adalah nama desa resmi, tercatat rapi di peta pemerintahan, masuk laporan Disparpora, dan kini sah menyandang status desa wisata rintisan. Tapi di ruang obrolan warga, di caption Instagram, hingga di spanduk acara, yang sering muncul justru Lembur Pakuan.
Seolah-olah Rawalele itu nama di KTP, sementara Lembur Pakuan adalah nama panggungnya.
Fenomena ini bukan hal aneh di Jawa Barat. Orang Sunda punya kebiasaan lebih lekat pada toponimi emosional ketimbang administratif. Desa itu urusan surat-menyurat, lembur itu urusan rasa.
Nama yang Punya Cerita
'Pakuan' bukan kata sembarangan. Ia mengingatkan pada sejarah, pada Sunda lama, pada kesan kokoh dan berakar. Nama ini bekerja secara kultural:
pendek, berwibawa, dan mudah dijual.
Bandingkan dengan 'Rawalele'. Nama ini sah, resmi, tapi terdengar datar. Tidak salah, hanya kurang dramatis. Dalam dunia pariwisata—yang menjual cerita sebelum panorama—nama adalah pintu pertama.
Tak heran kalau wisatawan datang ke Rawalele, tapi pulang dengan cerita, “Abis dari Lembur Pakuan.”
Desa Wisata dan Realitas Lapangan
Ketika Kepala Disparpora Subang, Nenden Setiawati, menetapkan Rawalele sebagai desa wisata rintisan, itu adalah langkah administratif yang penting. Rawalele kini sejajar dengan Margasari, Sukasari, Jambelaer, Situsaari, Cisampih, dan Sanca dalam peta besar pengembangan desa wisata Subang.
Launching dua hari penuh dari 13 sampai 14 Desember 2025, gowes santai bertajuk 'Gowes to Dewi', panggung hiburan, baliho, dan seremoni—semuanya rapi.
Namun di lapangan, yang bekerja menggerakkan rasa penasaran orang tetaplah Lembur Pakuan. Ia hidup di mulut ke mulut, di cerita warga, di ingatan pengunjung.
Branding yang Terlanjur Organik
Inilah pelajaran menariknya: branding paling kuat justru sering lahir tanpa rapat.
Lembur Pakuan tidak diluncurkan dengan seremoni, tidak dibaptis lewat SK, tapi tumbuh perlahan sebagai identitas yang dirawat bersama.
Rawalele sedang mengejar status. Lembur Pakuan sudah lama punya reputasi.
Maka ketika desa wisata ini dipromosikan, ada tantangan kecil yang jenaka: bagaimana menyatukan nama resmi dengan nama yang sudah dicintai publik?
Jalan Tengah yang Sunda Banget
Mungkin solusinya bukan memilih salah satu, tapi merangkul keduanya. Biarkan Rawalele tetap menjadi identitas administratif dan perencanaan.
Dan biarkan Lembur Pakuan menjadi wajah kultural, etalase cerita, dan magnet emosionalnya.
Karena pada akhirnya, wisata bukan cuma soal peta dan papan nama. Ia soal apa yang diingat orang ketika pulang.
Dan di Subang, ingatan itu sering berbunyi sederhana:
“Rawalele mah desanya… tapi hatinya, Lembur Pakuan.”




