Ketika Layar Sentuh Gantikan Paku: Drama Pilkuwu Digital Pertama di Tanah Dermayu

Redaktur author photo
Masih ada kotak suara di pemilihan Pilkuwu e-voting serentak di Indramayu tahun 2025 yang juga dilakukan secara hybrid

RABU pagi, 10 Desember 2025, Indramayu terbangun dalam suasana pilwu yang berbeda dari biasanya. Di banyak desa, kotak suara tak lagi berdiri gagah dengan bilik anyaman bambu; ia digantikan deretan perangkat elektronik yang lebih mirip antrian check-in bandara daripada pemungutan suara desa. 

Inilah hari ketika masyarakat Dermayu resmi melangkah ke babak baru: Pilwu digital pertama dengan sistem e-voting hybrid.

Masyarakat Kabupaten Indramayu di 139 desa, serentak melaksanakan pemilihan kuwu (Pilwu) di desanya masing-masing. Data Dinas Pemberdayaan Masyarakat (DPMD) Kabupaten Indramayu menyebut, ada ada 1.537 Tempat Pemungutan Suara (TPS) tersebar di seluruh wilayah Indramayu.

Pilwu kali ini sangat unik. Untuk pertama kalinya pelaksanaan Pilwu di Kabupaten Indramayu dilaksanakan secara hybrid (campuran) antara pemilihan secara digital maupun manual, artinya di tiap desa ada 1 TPS menggunakan digital, sisanya masih menggunakan model lama (Red: manual).

Sebagai pilot proyek pelaksanaan pemilihan digital di Jawa Barat, inovasi dari Kabupaten Indramayu ini mengundang perhatian banyak pihak. DPMD Provinsi Jawa Barat pun menerjunkan tim-nya untuk memonitoring pelaksanaan PIlwu pola digital tersebut.

“Wah, kaya main gadget,” celetuk seorang bapak paruh baya di Desa Tanjungsari saat petugas menunjukkan layar sentuh bergambar foto calon kuwu. Bagi sebagian warga, pengalaman itu terasa futuristik; bagi sebagian lain, agak menegangkan, khususnya bagi mereka yang selama puluhan tahun akrab dengan paku dan surat suara.

TPS digital: antara kagum dan was-was

Dalam banyak TPS, perangkat e-voting sudah tersusun rapi sejak fajar. Panitia membuka “menu utama” sambil berharap tidak perlu menekan tombol restart di tengah kerumunan. Alat-alat itu sebelumnya didistribusikan dari gudang kabupaten, dicek ulang, dan diuji coba. Setiap unit dilengkapi sensor sentuh, penyimpanan hasil, dan sistem backup manual, jaga-jaga kalau teknologi mendadak melakukan hal yang paling ditakuti panitia: ngadat.

Ketika pemilih datang, alurnya tampak sederhana: daftar, masuk bilik digital, sentuh pilihan, simpan suara. Tapi di balik kesederhanaan itu, panitia sebenarnya sedang menghadapi lomba maraton yang penuh titik rawan. Listrik turun sedikit saja, seluruh ritme bisa kacau. Jaringan terganggu sebentar, data harus divalidasi ulang. Tidak ada margin error, di desa, setiap suara biasanya dihitung sebagai persoalan martabat bahkan silsilah keluarga.

Mesin boleh digital, tapi degupan politik tetap analog

Meski tampil modern, dinamika sosial politik Indramayu tetap hadir seperti pilwu masa lalu. Paslon membawa tim pengawas, warga berdebat tentang “bener ga itu hasilnya”, dan panitia menjadi wasit yang harus memadukan teknologi dan psikologi massa.

Beberapa pemilih sempat meminta “bukti kertas”, sesuatu yang tidak lagi ada dalam sistem digital. Panitia harus menjelaskan bahwa suara sudah terekam otomatis. Ada pula yang kembali ke meja panitia sambil berkata lirih, “Pak, tadi saya pencetnya bener kan?”, sebuah momen yang menunjukkan bahwa transformasi digital bukan cuma soal alat, tapi juga soal rasa percaya.

E-voting: efisien atau bikin deg-degan?

Di beberapa desa, proses berjalan mulus. Hasil keluar cepat, antrian mengecil, dan warga pulang sebelum matahari benar-benar terik. Namun tidak semua lokasi seberuntung itu. Ada TPS yang harus memanggil teknisi karena layar tidak merespons. Ada yang repetisi login operator. Ada yang menunggu backup manual sambil menahan napas.

Ketua panitia di salah satu desa bahkan menyelipkan gurauan:

“Kalau dulu yang dituduh main mata itu panitia TPS, sekarang yang salah sering-sering si mesin.”

Tetapi dibalik kejenakaan itu, terlihat satu hal: masyarakat sedang beradaptasi. Ada rasa ingin tahu, ada rasa bangga, sekaligus rasa cemas.

Ritual demokrasi desa memasuki era layar biru

Pilwu Indramayu 2025 bukan sekadar pemilihan kuwu—ini juga ujian apakah desa siap masuk dunia digital tanpa kehilangan jiwanya. Desa-desa yang dulu hanya mengandalkan kertas kini belajar mengelola data. Pemilih yang terbiasa mencoblos kini menyentuh layar. Panitia yang biasanya memikul kotak suara kini menjaga perangkat digital seolah laptop ujian negara.

Apakah e-voting ini akan menjadi standar baru? Atau hanya eksperimen yang nanti kembali direvisi? Itu pertanyaan yang akan dijawab setelah hari ini.

Yang pasti, 10 Desember 2025 mencatat satu bab dalam sejarah:

di tanah Dermayu, demokrasi desa untuk pertama kalinya punya layar sentuhnya sendiri.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini