![]() |
| Para peserta Kongres Kemanusiaan Indonesia ke-III berfoto bersama usai acara. |
inijabar.com, Jakarta - Kepemimpinan pelaku lokal dalam penanganan bencana, menjadi fokus utama Kongres Kemanusiaan Indonesia (KKI) ke-3, sekaligus menegaskan bahwa komunitas dan organisasi lokal bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama dalam kerja-kerja kemanusiaan di Tanah Air.
Mengusung tema 'Dari Respon Bencana Banjir dan Longsor Sumatera Menuju Koordinasi Kemanusiaan yang Mandiri dan Kolaboratif Dipimpin oleh Pelaku Lokal', kongres itu menjadi ruang refleksi dan konsolidasi, untuk memperkuat arah masa depan gerakan kemanusiaan Indonesia.
President Human Initiative sekaligus Dewan Pakar KKI III, Tomy Hendrajati, menekankan bahwa kongres merupakan momentum strategis bagi pembenahan sistem kemanusiaan nasional.
"Pengalaman respon banjir dan longsor Sumatera menunjukkan bahwa pelaku lokal bukan pelengkap, melainkan fondasi. Mereka hadir paling awal, memahami konteks, dan menjaga martabat penyintas," ujarnya, melalui keterangan tertulis, Rabu (24/12/2025).
Tomy menjelaskan, pengalaman respon bencana banjir dan longsor di Sumatera, membuktikan peran krusial komunitas dan organisasi lokal sebagai pihak pertama, yang merespons situasi darurat dan pihak terakhir yang bertahan dalam proses pemulihan.
"Kedekatan dengan wilayah, pemahaman sosial-budaya, serta jejaring komunitas yang kuat, menjadikan pelaku lokal aktor kunci dalam memastikan bantuan tepat guna, berkeadilan, dan bermartabat," katanya.
Tomy menyatakan, melalui berbagai sesi diskusi dan refleksi, peserta kongres membahas tantangan serta peluang membangun koordinasi kemanusiaan yang lebih setara.
"Penekanan diberikan pada kepercayaan, pembagian peran yang jelas, dan kolaborasi lintas aktor mulai dari organisasi masyarakat sipil, komunitas, pemerintah, dunia usaha, hingga mitra internasional tanpa mengabaikan pengetahuan dan inisiatif lokal," ungkap Tomy.
Sebagai hasil utama, KKI ke-3 menegaskan lima arah penguatan sistem kemanusiaan nasional. Pertama, mendorong kepemimpinan pelaku lokal sebagai inti koordinasi kemanusiaan nasional melalui penguatan Indonesia Humanitarian Country Platform (IHCP) yang mandiri, akuntabel, dan legitimate.
Kedua, transformasi ekosistem sumber daya kemanusiaan dengan dorongan pada diversifikasi pendanaan, penguatan sumber daya lokal, serta akses yang lebih setara bagi pelaku lokal terhadap pendanaan publik, CSR, dan internasional.
Ketiga, penguatan kapasitas dan standar kemanusiaan nasional melalui pengembangan berkelanjutan organisasi masyarakat sipil lokal, penerapan Kerangka Kerja Kemanusiaan Indonesia, serta integrasi kearifan lokal dengan standar global.
Keempat, mendorong hadirnya kebijakan kemanusiaan nasional yang lebih eksplisit dan kolaboratif yang mengakui masyarakat sipil sebagai mitra setara pemerintah serta memperkuat ruang konsultasi multipihak.
Kelima, menegaskan komitmen Indonesia untuk mengambil peran lebih aktif dalam reformasi sistem kemanusiaan di kawasan dan global.
Sementara itu, Convener Aliansi Peduli Kemanusiaan Indonesia (AP-KI), M. Ali Yusuf atau Gus Ali, menegaskan bahwa berakhirnya kongres bukanlah akhir dari proses.
"Kongres ini bukan titik selesai, melainkan titik tolak. Ukuran keberhasilan kita bukan pada seberapa rapi sistem yang dibangun, tetapi pada seberapa banyak martabat manusia yang berhasil kita jaga," ucapnya.
Gus Ali berharap, kongres ini membangun kesepahaman bersama mengenai arah penguatan sistem kemanusiaan nasional yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Hasil dan pembelajaran dari KKI ke-3 diharapkan menjadi rujukan bersama dalam memperkuat koordinasi kemanusiaan ke depan, baik dalam respon darurat maupun pemulihan jangka panjang.
"Dengan penguatan peran pelaku lokal, sistem kemanusiaan Indonesia diharapkan lebih tangguh dan efektif, dalam menghadapi berbagai tantangan bencana di masa mendatang," pungkas Gus Ali. (Pandu)




