Menakar Risiko Jebakan Fiskal di Balik Penyertaan Modal BUMD Kota Bekasi 2026

Redaktur author photo
Ilustrasi

KONTROVERSI Raperda Penyertaan Modal BUMD tahun 2026 masih menjadi bahasan baik di kalangan anggota DPRD Kota Bekasi, di Pemerintahan Daerah maupun di kalangan praktisi ekonomi yang peduli dengan proyeksi tata kelola keuangan Kota Bekasi di tahun 2026.

Bukan lagi hanya sekedar gaduh atas tidur nya Dirut PDAM Tirta Patriot saat Rapat Pansus 8. Namun sudah melebar ke soal resiko fiskal Kota Bekasi di tahun 2026.

Di atas kertas, APBD Kota Bekasi 2026 diarahkan agar lebih 'waras'. Efisiensi, pengendalian defisit, dan optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi mantra yang berulang dalam setiap forum perencanaan. 

Belanja diminta ketat, program diseleksi, dan OPD diminta rasional. Namun di lembar lain, muncul sebuah dokumen yang justru bergerak berlawanan arah: Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyertaan Modal Pemerintah Kota Bekasi kepada BUMD tahun 2026–2030.

Angkanya tidak kecil. Komitmennya tidak pendek. Dan risikonya jika dicermati tidak sederhana.

Anggota Pansus 8 yang tengah menggodok diminta hati-hati dalam pembahasan Raperda ini, mata publik selalu mengawal seraya berharap jangan tergiur iming-iming tanda ucapan terima kasih.

Dua Wajah Anggaran

APBD 2026 dibangun dengan asumsi fiskal yang makin sempit. PAD Kota Bekasi berada di kisaran Rp2,3 triliun, sementara belanja wajib gaji ASN, pendidikan, dan kesehatan menggerus hingga 60–70 persen. Artinya, ruang fiskal riil semakin tipis.

Di kondisi seperti itu, logika anggaran seharusnya menuntut kehati-hatian ekstra. Namun Raperda penyertaan modal justru membuka keran investasi daerah jangka panjang ke sejumlah BUMD, dengan total potensi ratusan miliar rupiah.

“Ini seperti meminta warga berhemat, tapi kartu kredit tetap digesek,” kata seorang analis kebijakan anggaran yang enggan disebutkan namanya.

BUMD dan Modal yang Terus Disuntik

Dalam Raperda tersebut, Pemerintah Kota Bekasi menetapkan sejumlah BUMD sebagai penerima penyertaan modal, di antaranya:

BPRS Patriot (Perseroda)

PDAM Tirta Patriot

PT Migas Patriot

PT Mitra Patriot

PT Sinergi Patriot Bekasi

Masalahnya, penetapan ini dilakukan tanpa paparan audit kinerja terbuka, tanpa ringkasan laporan kesehatan usaha, dan tanpa studi kelayakan bisnis yang terukur.

BUMD tetap dipercaya, meski sebagian belum menunjukkan rekam jejak komersial yang stabil.

BPRS Patriot: Modal Besar, Ukuran Usaha Kecil

Porsi paling mencolok ada pada BPRS Patriot. Hingga 2025, Pemkot Bekasi telah menyetor modal sekitar Rp90,15 miliar. Dalam draf Raperda, BPRS kembali dijadwalkan menerima Rp190 miliar sepanjang 2026–2030.

Rinciannya bertahap:

2026: Rp10 miliar

2027: Rp30 miliar

2028: Rp40 miliar

2029: Rp50 miliar

2030: Rp60 miliar

Masalahnya bukan sekadar jumlah, melainkan ketiadaan proyeksi.

Tidak ada:

Target Non Performing Financing (NPF)

Rasio BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional)

Proyeksi CAR pasca-injeksi

Target ROE (tingkat pengembalian atas ekuitas (Return on Equity) yang diinginkan perusahaan atau investor untuk mengukur efisiensi penggunaan modal pemegang saham dalam menghasilkan laba)

Proyeksi dividen ke kas daerah

Dalam dunia perbankan, modal tanpa peta ekspansi yang jelas bukan kekuatan melainkan beban.

Investasi atau Subsidi Terselubung?

Secara teori, penyertaan modal daerah adalah investasi. Artinya, ada harapan modal itu kembali minimal dalam bentuk dividen. Namun Raperda ini tidak menyebut:

Berapa persen dividen minimal

Kapan modal mulai menghasilkan

Apa yang terjadi jika BUMD merugi

Tanpa itu, penyertaan modal berpotensi berubah fungsi menjadi subsidi terselubung, yang mengendap sebagai 'kekayaan daerah yang dipisahkan', tapi tak pernah benar-benar produktif.

Risiko Rente di Ruang Remang-remang

BUMD bukan OPD. Pengadaannya lebih fleksibel, pengawasannya lebih longgar, dan ruang diskresinya lebih besar. Di sinilah risiko klasik muncul:

Digitalisasi sistem

Pembukaan jaringan kantor

Kerja sama pihak ketiga

Konsultan IT dan bisnis

Jika penyertaan modal dilakukan bertahap tanpa KPI ketat, maka celah biaya transaksi dan praktik rente terbuka lebar.

BUMD kerap disebut sebagai wilayah abu-abu anggaran tidak sepenuhnya publik, tapi juga bukan swasta murni.

Tidak Ada Jalan Keluar

Yang paling mengkhawatirkan, Raperda ini tidak mengenal kata gagal.

Tidak ada pasal yang mengatur:

Penghentian modal jika rugi dua tahun berturut-turut 

Sanksi manajemen

Evaluasi independen wajib

Skema merger atau likuidasi

Exit strategy pemerintah daerah

Artinya, sekalipun BUMD tidak menunjukkan kinerja, modal daerah tetap berpotensi terus mengalir.

Jebakan Fiskal Lima Tahunan

Jika seluruh BUMD benar-benar menerima penyertaan modal dalam lima tahun ke depan, total komitmen fiskal Kota Bekasi bisa menembus Rp300–500 miliar.

Angka itu bukan hanya beban kas, tapi juga liabilitas kebijakan yang akan diwariskan ke pemerintahan berikutnya.

Setiap rupiah yang 'diparkir' di BUMD tanpa hasil, adalah rupiah yang tidak dibelanjakan untuk jalan lingkungan, sekolah, layanan kesehatan, atau bantuan sosial.

Raperda Penyertaan Modal BUMD 2026 sejatinya bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah cermin keberanian fiskal atau justru kehati-hatian yang diabaikan.

Tanpa penguatan pasal pengawasan, KPI kuantitatif, dan strategi keluar yang jelas, penyertaan modal ini lebih mendekati taruhan anggaran ketimbang investasi daerah.

APBD boleh disuruh irit. Tapi jika BUMD dibiarkan boros tanpa ukuran, yang terjepit bukan neraca melainkan warga.

Ditulis: Tim Redakasi

Share:
Komentar

Berita Terkini