Paradoks Jabar; Investasi Mengalir Deras, Lulusan SMK Banyak Pengangguran

Redaktur author photo

 

Ilustrasi

DERU mesin pabrik itu terdengar sampai ke warung kopi kecil di pinggir kawasan industri Kabupaten Bekasi. Truk kontainer keluar masuk, debu beterbangan, dan spanduk bertuliskan “Selamat Datang Investor” berkibar di gerbang kawasan. Di warung itulah, Asep (21), lulusan SMK jurusan Teknik Kendaraan Ringan, menyesap kopi hitam sambil menggenggam ponsel. Sudah enam bulan sejak kelulusannya, tapi notifikasi yang ia tunggu bukan pesan HRD—melainkan pengingat cicilan motor.

“Saya lulus SMK biar cepat kerja,” kata Asep lirih. “Nyatanya, yang cepat justru nambah lamaran.”

Ironi Asep bukan cerita tunggal. Di saat Jawa Barat mencatatkan diri sebagai provinsi dengan realisasi investasi tertinggi secara nasional, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) justru masih mendominasi angka pengangguran terbuka. Triliunan rupiah masuk, pabrik berdiri, proyek digarap—namun lulusan vokasi yang digadang-gadang “siap kerja” malah terseok mencari pintu masuk dunia kerja.

Euforia Investasi: Angka yang Menggoda

Pemerintah Provinsi Jawa Barat berulang kali memamerkan capaian investasi. Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menempatkan Jabar di puncak klasemen nasional. Kawasan industri di Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, hingga Bandung Raya terus berkembang. Investor datang membawa modal, teknologi, dan janji lapangan kerja.

Dalam pidato-pidato resmi, investasi kerap disandingkan dengan narasi kesejahteraan: seperti lapangan kerja terbuka, pengangguran turun, ekonomi bergerak. 

Namun data ketenagakerjaan berkata lain. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan SMK di Jawa Barat konsisten menjadi yang tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lain, bahkan kerap menembus dua digit.

Paradoks pun lahir, daerah paling 'laku' bagi investor, tapi lulusan vokasinya paling banyak menganggur.

Sekolah Siap Kerja, Tapi Kerja Tak Siap Sekolah

SMK sejak awal dirancang sebagai mesin pencetak tenaga kerja. Kurikulumnya praktis, jurusannya teknis, slogannya tegas: link and match dengan industri. Namun di lapangan, relasi itu sering kali hanya indah di atas kertas MoU.

“Anak-anak kami bisa dasar mesin, tapi industri minta operator CNC level lanjut, PLC, dan sertifikasi tertentu,” ujar seorang kepala SMK di Bandung Raya yang enggan disebut namanya.

“Kami mengejar kurikulum, industri lari lebih cepat.”

Di sinilah masalah klasik bernama mismatch muncul. Banyak lulusan SMK memiliki keterampilan yang hampir dibutuhkan industri, namun tidak cukup spesifik. 

Mereka bisa mengelas, tapi bukan standar pabrik otomotif Jepang. Mereka bisa bongkar mesin, tapi belum terbiasa sistem digital dan otomasi.

Sementara itu, investor terutama PMA datang dengan standar global. Efisiensi, produktivitas, dan minim risiko jadi mantra utama. Akibatnya, perusahaan lebih memilih tenaga kerja berpengalaman, atau bahkan mendatangkan tenaga dari luar daerah.

Pabrik Datang, Tenaga Lokal Menonton

Tak sedikit warga sekitar kawasan industri yang merasa hanya kebagian debu dan macet. Pabrik berdiri di tanah mereka, tapi kesempatan kerja terasa jauh. “Lowongan ada, tapi syaratnya ribet,” kata Dede, lulusan SMK listrik di Karawang. 

“Umur maksimal 22, pengalaman 2 tahun, sertifikat ini-itu. Kami baru lulus, pengalaman dari mana?”

Fenomena ini memperlihatkan bahwa investasi tidak otomatis menyerap tenaga kerja lokal, apalagi lulusan baru. Banyak investasi di Jawa Barat bersifat padat modal, bukan padat karya. Mesin lebih banyak daripada manusia. Teknologi lebih diutamakan daripada jumlah tenaga kerja.

Bagi lulusan SMK, ini seperti menonton pesta dari luar pagar. Musiknya terdengar, lampunya terang, tapi undangan tak kunjung datang.

Antara Statistik dan Kenyataan Hidup

Dalam statistik, pengangguran SMK tercatat jelas. Namun di lapangan, realitasnya lebih kompleks. Sebagian lulusan SMK akhirnya bekerja di sektor informal: ojek online, buruh harian, kerja serabutan. Mereka 'bekerja', tapi tidak sesuai kompetensi dan sering kali tak tercatat sebagai tenaga kerja formal.

Akibatnya, muncul pengangguran terselubung, bekerja tapi tak optimal. Ijazah SMK menggantung di dinding rumah, sementara pemiliknya bertarung di ekonomi gig dengan pendapatan tak pasti.

Orang tua pun mulai bertanya: “Untuk apa SMK kalau akhirnya kerja apa saja?”

Negara Hadir, Tapi Terlambat?

Pemerintah sebenarnya tak tinggal diam. Program revitalisasi SMK, link and match, magang industri, hingga sertifikasi kompetensi terus digulirkan. Namun masalahnya adalah kecepatan dan skala. Dunia industri bergerak cepat, sementara dunia pendidikan kerap terjebak prosedur.

“Industri berubah tiap dua-tiga tahun. Kurikulum bisa lima tahun baru berubah,” kata seorang akademisi ketenagakerjaan di Bandung. “Di situlah jaraknya.”

Selain itu, koordinasi antarlembaga sering berjalan sendiri-sendiri. Dinas Pendidikan fokus sekolah, Dinas Tenaga Kerja fokus penempatan, Dinas Investasi fokus angka realisasi. Jarang duduk bersama dengan satu peta besar: kebutuhan keterampilan Jawa Barat lima tahun ke depan.

Investasi Butuh SDM, SDM Butuh Arah

Paradoks ini sejatinya bukan soal kurangnya investasi atau rendahnya kualitas anak SMK semata. Ini soal arah kebijakan. Jawa Barat butuh peta jalan yang menghubungkan investasi dengan pengembangan sumber daya manusia.

Jika investasi otomotif masuk, SMK harus jauh hari menyiapkan kompetensi otomotif modern. Jika industri baterai dan kendaraan listrik berkembang, jurusan lama harus berani berubah. Jika tidak, SMK hanya akan menjadi pabrik ijazah.


 

Beberapa sekolah yang berkolaborasi erat dengan industri menunjukkan hasil positif. Lulusan langsung diserap, bahkan sebelum wisuda. Namun kisah sukses ini masih minoritas ibarat oase di padang mismatch.

Di Ujung Cerita: Harapan Bernama Sinkronisasi

Sore itu, Asep menutup ponselnya. Belum ada kabar. Tapi ia belum menyerah. Besok ia ikut pelatihan tambahan berbayar, belajar dasar PLC. “Kata teman, ini yang dicari pabrik,” ujarnya.

Harapan Asep sederhana: kerja sesuai keahlian, upah layak, hidup normal.

Bagi Jawa Barat, harapan itu seharusnya menjadi alarm. Investasi yang besar tanpa penyerapan tenaga kerja lokal hanya akan memperlebar jurang sosial. Pabrik boleh megah, angka boleh fantastis, tapi pembangunan sejatinya diukur dari seberapa banyak warganya ikut naik kelas.

Jika tidak, Jawa Barat akan terus mencetak paradoks:l seperti, provinsi kaya investasi, tapi miskin kepastian kerja bagi lulusannya sendiri.

Dan lulusan SMK akan terus menunggu di warung kopi, di pinggir pabrik, di balik pagar kawasan industri, menjadi penonton di tanahnya sendiri.

Editorial Redaksi

Share:
Komentar

Berita Terkini