Rendiana Awangga dari Opera Politik Kota Bandung Jadi Tersangka

Redaktur author photo
Rendiana Awangga

UDARA sejuk, kuliner lezat, merupakan ciri khas Kota Bandung, ditambah drama politik yang tak kalah pedas dari seblak level 15 bahkan mengalahkan ketinggian banjir di Dayeuhkolot.

Nama Rendiana Awangga kembali menggelinding seperti odading Mang Oleh yang jatuh dari meja. Bedanya, kalau odading jatuh masih bisa diambil lagi, kasus yang satu ini jatuhnya langsung menggelinding ke gedung Kejaksaan.

Sebagai Ketua DPD NasDem Bandung, Awangga dulu menjadi dirigen orchestra pemenangan pasangan Farhan–Erwin di Pilkada 2024.

Ia memimpin tim pemenangan seperti pelatih Persib yang penuh strategi serangan dari kanan, penguatan lini RT, set piece RW, dan tentu konsolidasi ke kelurahan karena seperti kata para senior politik, “di Bandung, yang bergerak bukan cuma relawan, tapi juga grup WhatsApp keluarga.”

Di masa kampanye, Awangga berdiri di panggung, memegang mikrofon, menjanjikan Bandung yang lebih tertata, lebih manusiawi, dan lebih low profile, meskipun billboard calon kadang setinggi tiang listrik.

Ia memotivasi tim pemenangan, “Ayo, urang Bandung pasti bisa menang!” seperti motivator tengah memompa semangat peserta seminar kewirausahaan.

Namun, setelah Pilkada selesai dan pasangan Farhan–Erwin resmi menduduki kursi kehormatan, drama pun naik babak. Seperti sinetron ditaruh di episode ke-28, tibalah kabar itu. Erwin dan Awangga sama-sama ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pengaturan proyek di Pemkot Bandung. Kota pun heboh, warganet langsung bergerilya, scrolling media sosial sembari menyeruput kopi di Braga.

Banyak yang bertanya-tanya,

“Ini teh, politik atau escape room? Soalnya selalu saja ada teka-teki.”

Awangga, yang dulunya orkestra pemenangan, kini seolah menjadi konduktor lain yakni konduktor perkara. 

Publik pun menyusun meme-meme kreatif dari gabungan foto gedung Kejaksaan dengan caption ala tourism campaign, sampai ilustrasi papan catur di mana para pejabat jadi pion.

Sementara Wali Kota Farhan, yang namanya ikut terseret di percakapan publik (meski belum berstatus apa-apa), terlihat seperti pemain gitar akustik di Dago yang tiba-tiba diminta bawain lagu metal. Situasi ini memang bikin terasa lebih fals didengar.

Tapi begitulah Bandung, kota musik, kuliner, fashion dan kini, political theatre yang kadang lebih menarik dari konser di Sabuga.

Rakyat Bandung sih santai, sambil nyeletuk:

“Yang penting jalan gak macet, sampah gak numpuk, jeung politik teh ulah poho… kudu lucu saeutik.”

Dan benar saja, di kota inilah satire selalu menemukan panggung terbaiknya. Karena bila politik mulai serius berlebihan, warga Bandung langsung menimpali,

“Ah, asa teu Bandung mun teu aya komedina.”

Editorial: Redaksi

Share:
Komentar

Berita Terkini