Sejak Januari-Juni 2025 Ada 72 % Pengaduan Masyarakat Terkait Kinerja Aparatur Pemkot Bekasi 7 % Soal Korupsi

Redaktur author photo
Ilustrasi

inijabar.com, Kota Bekasi- Laporan pengawasan Inspektorat Daerah Kota Bekasi Semester I Tahun 2025 menyimpan satu bab penting yang kerap luput dibaca publik yakni soal hasil penanganan pengaduan masyarakat. Di sinilah denyut kegelisahan warga bertemu dengan tembok birokrasi dan pada akhirnya, dengan aparat penegak hukum.

Diagram pengaduan menunjukkan satu fakta telanjang: 72 persen pengaduan masyarakat berkaitan dengan kinerja aparatur. Artinya, mayoritas warga tidak lagi bicara isu abstrak. 

Mereka menunjuk langsung yakni pekerjaan tidak beres, pelayanan bermasalah, proyek dipertanyakan. Bukan gosip, tapi pengalaman langsung di lapangan.

Ironisnya, jenis pengaduan yang secara eksplisit berlabel korupsi hanya 7 persen. Namun justru di situlah letak masalahnya. Korupsi jarang dilaporkan sebagai “korupsi”. Ia lebih sering muncul sebagai jalan cepat rusak, volume kurang, drainase tak berfungsi, atau proyek yang hanya bagus di foto. Bahasa warga adalah bahasa dampak, bukan bahasa hukum.

Disperkimtan dan Pola Pengaduan Proyek

Jika ditelusuri dari substansi laporan pengaduan yang masuk, terlihat pola berulang pada proyek fisik dan lingkungan wilayah kerja Disperkimtan. Pengaduan menyebutkan pekerjaan SPAM, jalan lingkungan, sarana sekolah, hingga bangunan fasilitas publik yang tidak sesuai spesifikasi, diduga dikondisikan, atau pelaksanaannya janggal.

Sebagian laporan berstatus dalam proses, sebagian dinyatakan selesai. Namun yang menarik, hampir tidak ada yang berujung pada sanksi berat. Sanksi administratif mendominasi, sementara sanksi yang menyentuh pidana nyaris tak terlihat dalam rekapitulasi.

Di sinilah muncul jurang antara apa yang dilaporkan warga dan apa yang ditindaklanjuti negara.

Narasi resmi menyebut penanganan pengaduan dilakukan profesional, rahasia, dan sistematis. Namun data justru menunjukkan kecenderungan lain: pengaduan dikelola sebagai arsip administratif, bukan alat koreksi kekuasaan.

Banyak laporan berakhir di kolom “dalam proses” atau “selesai” tanpa penjelasan rinci soal apakah ada pengembalian kerugian, apakah kontraktor di-blacklist, atau apakah pejabat penanggung jawab dikenai sanksi personal.

Akibatnya, pola yang sama muncul kembali di tahun-tahun berikutnya. Proyek berganti nama, pelaksana berganti bendera, tapi modusnya tetap serupa.

Data pengaduan masyarakat dan temuan pengawasan sebenarnya sudah menggambarkan medan rawan: proyek fisik, pengondisian, dan ijon anggaran.

OTT KPK seolah menegaskan satu hal penting yakni ketika pengaduan masyarakat tidak ditindak tegas di level pengawasan internal, maka penindakan akan diambil alih oleh aparat eksternal.

Dalam konteks ini, laporan warga bukan sekadar keluhan. Ia adalah early warning system (sistem peringatan dini) yang gagal dimaksimalkan.

Share:
Komentar

Berita Terkini