Sidang Kasus Alat Olahraga: Kenapa Hakim Tak Menggali Aliran Rp3,4 Miliar

Redaktur author photo
Sidang ke 6 kasus dugaan korupsi proyek alat olahraga Dispora di PN Tipikor Bandung

PADA sidang ke enam di PN Tipikor Bandung terkait kasus dugaan korupsi Proyek Pengadaan Alat Olahraga Dispora Kota Bekasi tahun 2023 menghadirkan dua orang saksi  salah satunya dari BPKAD (Badan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah)  

Dari keterangan saksi tersebut diceritakan aliran pengembalian uang kerugian negara sebesar Rp3,4 miliar dari proyek tersebut ke kas daerah secara bertahap.

Namun, di ruang sidang yang mestinya menjadi arena pembongkaran kebenaran, ada satu aliran dana yang justru dibiarkan lolos begitu saja: pengembalian anggaran Rp 3.499.398.550 ke kas daerah.

Sayangnya tanpa satu pun pertanyaan tajam dari majelis hakim. Padahal, di balik setoran ini, ada pola yang tidak lazim, bahkan dapat membuka jendela lebih besar pada dugaan korupsi peralatan olahraga Dispora.

Justru pertanyaan paling sederhana tak pernah menyentuh bibir hakim:

“Siapa yang menyerahkan uang itu kepada bendahara Dispora?”

Kenapa Hakim Fokus pada Perbuatan Pidana, Bukan Administrasi Keuangan

Pengembalian uang ke kas daerah, meskipun janggal, tidak menghapus unsur tindak pidana, tetapi biasanya dianggap sebagai bagian dari recovery kerugian keuangan negara, area administrasi BPKAD/Bendahara SKPD, atau bukan inti pada pembuktian suap/mark-up/korupsi.

Hakim cenderung fokus pada siapa yang mengambil keuntungan, siapa yang memerintahkan pengadaan, siapa yang mengetahui rekayasa proyek, apakah ada kerugian negara

Aliran pengembalian dianggap sebagai penunjang, bukan unsur utama.

Bahan Bakar Kejanggalan 1: Setoran Tanpa Wakil Resminya

Dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah, setoran pengembalian anggaran wajib dilakukan oleh satu orang: bendahara pengeluaran, lewat sistem Bend 17.

[cut]


Sekedar diketahui, Bend 17 adalah singkatan dari "Bendahara 17', yang merujuk pada dokumen administrasi keuangan pemerintah daerah, yaitu Surat Tanda Setoran (STS) khusus untuk setoran ke rekening kas daerah (BPD - Bank Pembangunan Daerah), sering digunakan dalam pengelolaan dana APBD/APBN untuk mencatat penerimaan dan penyetoran pajak, retribusi, atau pendapatan asli daerah lainnya ke kas pemerintah daerah melalui bank.

Namun fakta di persidangan justru memperlihatkan yang sebaliknya.

Bendahara Dispora tidak pernah dihadirkan sebagai saksi.

Tidak ada penjelasan siapa yang membawa uang miliaran itu ke bank.

Tidak ada bukti setoran yang dihadirkan dari BPKAD.

Di atas kertas, setoran ke kas daerah adalah urusan administrasi.

Tetapi ketika nominalnya menembus tiga setengah miliar rupiah dan dilakukan dalam beberapa termin, ini bukan lagi sekadar administrasi. Ini indikasi skenario penyelamatan diri, atau lebih tepatnya indikasi pengembalian dana setelah kebocoran yang terlalu telanjang.

Tidak ada saksi Bendahara Dispora yang dihadirkan. Ini justru poin paling mencolok.

Padahal Sistem Bend 17 hanya bendahara Dispora yang berwenang melakukan setoran pengembalian ke kas daerah. Kalau ada setoran Rp 3.499.398.550, pasti atas nama bendahara.

Jika bukan bendahara yang menyetorkan mustahil tanpa pelimpahan wewenang tertulis.

Ketika bendahara tidak dipanggil, hakim tidak memiliki pintu masuk untuk menggali siapa yang menyerahkan uang ke bendahara, apakah uang datang dari PT. CIA langsung, apakah uang itu bagian dari 'refund' proyek alat olahraga, apakah ada skema menutupi jejak transaksi. 

[cut]


Tanpa saksi kunci, hakim sulit memperdalam. Ini sering terjadi jika penuntut umum memang tidak menyiapkan arah pembuktian ke aliran dana.

Jika bukan bendahara yang menyetor tentunya ini pelanggaran SOP Bend 17. Ini berarti setoran dianggap tidak sah secara tata kelola, ada pihak lain yang membawa uang ke bank, bisa menunjukkan skema kriminal non-prosedural.

Jika tidak ada bukti-bukti setoran Bend 17  menunjukkan proses tidak beres

Ini titik rawan yang seharusnya bisa membuka substansi persoalan seperti money trail, keterlibatan pejabat SKPD, potensi kickback, aliran dana dari penyedia ke dinas. 

Namun tanpa saksi bendahara, jalur ini tertutup.

Bahan Bakar Kejanggalan 2: Kenapa Jaksa Lebih Tajam Pada Uang Rp 1,8 Miliar?

Ada Kemungkinan Jaksa Sendiri Tidak Menjadikan Aliran Rp 3,2–3,4 Miliar sebagai Pokok Perkara

Jaksa hanya serius menggali- Pengembalian Rp 1,8 M dari Zarkasih (jelas bersumber pribadi relevan pembuktian). Dana melalui kejaksaan (lebih mudah diverifikasi).

Sementara pengembalian Rp 3,2–3,4 M dari PT. CIA langsung kas daerah  dianggap administratif.

Tanpa penekanan dari jaksa, hakim biasanya tidak memaksa pendalaman.

Bandingkan dengan pengembalian Rp 1,8 miliar dari Zarkasih melalui kejaksaan.

Alirannya jelas, sumber uangnya jelas, dan secara hukum bisa dipakai untuk menggambarkan keterlibatan langsung.

Sementara itu, pengembalian Rp 3,2–3,4 miliar disebutkan berasal dari PT. CIA, lalu disetor langsung ke kas daerah, tidak melalui kejaksaan, tidak ada berita acara refund yang dihadirkan.

Ironisnya, jaksa tidak membangun narasi pada dana yang lebih besar, padahal potensi skema mark-up dan refund proyek justru terlihat di sini.

Bahan Bakar Kejanggalan 3: Saksi Gudang Bicara Barang, Bukan Uang

Dikdik, staf gudang PT. CIA, datang dengan cerita soal bola sepak, futsal, meja tenis, serta nama-nama seperti Mustari, Tomy Uno, dan Adi.

[cut]


Tetapi saksi yang berbicara soal barang tidak pernah disandingkan dengan saksi yang berbicara soal keuangan.

Di titik inilah kejanggalan membesar:

Barang dikirim, proyek berjalan, namun siapa yang menerima pengembalian dari PT. CIA tidak pernah disentuh.

Dalam konstruksi dugaan korupsi, ini adalah missing link paling rawan:

barang ada, uang kembali, tetapi ke mana aliran awalnya?

Pertanyaan yang Tak Pernah Ditanyakan Hakim

Yang membuat publik mengernyit adalah mengapa majelis hakim tidak menyentuh logika paling dasar?

1. Setoran Rp3,4 Miliar - Bendahara Dispora

Pertanyaanya, Bendahara dapat uang dari siapa?

2. Jika PT. CIA mengembalikan uang - Mana bukti serah terima?

3. Kenapa nominal dikembalikan bertahap seperti cicilan?

4. Kenapa jalur pengembalian dua macam?

via kejaksaan (Zarkasih), dan via kas daerah langsung (PT. CIA).

Padahal dalam kasus normal, hanya ada satu jalur yang dipakai.

5. Kenapa tidak ada pemeriksaan silang antara saksi gudang dan saksi keuangan?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang justru menjadi pintu masuk terbesar untuk menemukan siapa yang mengatur arus uang sebenarnya.

Mengapa Semua Ini Berbahaya?

Karena ketika jalur pengembalian anggaran tidak ditelusuri, ada dua kemungkinan:

1. Ada aktor yang tidak ingin jejak pengembalian terungkap

Karena membuka jalur itu sama dengan membuka; perintah siapa yang meminta refund, siapa yang menekan rekanan, siapa yang menerima dana awal, dan apakah ada pembagian di internal dinas.

2. Penyidikan hanya menyentuh permukaan

Ketika bukti setoran Bend 17 tidak dihadirkan, bukti paling dasar justru tidak muncul di ruang sidang.

Dan saat itu terjadi, arah persidangan akan bergerak sesuai "narasi yang diinginkan", bukan fakta yang paling lengkap.

Misteri yang Terus Menggantung

Kasus pengadaan Alat Olahraga Dispora Kota Bekasi ini memperlihatkan satu pola klasik korupsi daerah yakni ketika barang dikirim lalu uang mengalir kemudian sebagian dikembalikan.

Namun jejak awal siapa memegang uang, dikaburkan.

Selama bendahara tidak dihadirkan, selama bukti Bend 17 tidak dibuka, dan selama hakim tidak menginterogasi logika aliran dana Rp3,4 miliar, maka sidang ini hanya menyentuh permukaan.

Yang kita saksikan hari ini adalah bukan ketidakmampuan menemukan kebenaran, tetapi ketidakmauan untuk menggali lebih dalam.

Ditulis Oleh: H.Bambang Sunaryo.SH


Share:
Komentar

Berita Terkini