![]() |
| Ilustrasi |
inijabar.com, Kota Bekasi- Pemerintah Kota Bekasi bersiap menghadapi tekanan fiskal baru pada Tahun Anggaran 2026. Berdasarkan dokumen perencanaan keuangan, sektor belanja modal tanah menjadi salah satu pos dengan lonjakan paling signifikan, menandakan program pembebasan lahan akan menjadi beban utama dalam struktur APBD mendatang.
Dari total belanja modal sebesar Rp1,379 triliun, lebih dari Rp263,1 miliar dialokasikan untuk Belanja Modal Tanah, naik hampir dua kali lipat dari realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp120,3 miliar. Selisih kenaikan sebesar Rp142,8 miliar ini memperlihatkan adanya tekanan kuat dari kebutuhan lahan untuk proyek-proyek strategis kota seperti proyek PSEL Ciketing Udik, proyek Flyover Bulakkapal Bekasi Timur, Polder Air Rawalumbu.
Kenaikan Tajam di Subpos Belanja Tanah
Analisis terhadap rincian anggaran menunjukkan beberapa komponen utama yang mengalami peningkatan paling besar:
Belanja modal tanah untuk bangunan tempat kerja naik dari Rp23,6 miliar menjadi Rp44,3 miliar.
Belanja tanah lapangan penimbunan barang melonjak hingga Rp138,3 miliar, naik lebih dari Rp123 miliar dari tahun sebelumnya.
Belanja tanah untuk jalan mencapai Rp51 miliar, sementara belanja tanah bangunan air justru mengalami koreksi hingga minus Rp3,9 miliar.
Belanja tanah untuk makam (TPU) juga menurun drastis hingga minus Rp13,5 miliar, menandakan adanya realokasi ke sektor produktif.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa fokus fiskal pemerintah kota tahun depan akan diarahkan pada penyiapan lahan infrastruktur dasar dan fasilitas penunjang kawasan ekonomi, bukan pada ekspansi fasilitas sosial baru.
Efek Domino pada Kapasitas Fiskal Daerah
Lonjakan belanja tanah bukan sekadar angka. Secara struktural, pengadaan lahan bersifat belanja modal nonproduktif jangka pendek, karena tidak langsung menghasilkan pendapatan bagi kas daerah. Sebaliknya, beban pemeliharaan, pajak, dan pengelolaan aset justru akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Menurut analisis sejumlah ekonom daerah, kenaikan tajam ini berpotensi menekan ruang fiskal Kota Bekasi, terutama jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak tumbuh seiring kebutuhan investasi lahan.
“Kota Bekasi punya keterbatasan fiskal. Setiap pembebasan lahan baru berarti ada kewajiban biaya tambahan di masa depan. Pemerintah perlu memastikan setiap lahan yang dibeli memiliki nilai manfaat ekonomi yang jelas,” ujar seorang pengamat kebijakan publik dari Universitas Islam 45 Bekasi.
Keterkaitan dengan Proyek Strategis dan Tata Ruang
Sumber internal Bappelitbangda Kota Bekasi menyebutkan, sebagian besar belanja tanah diarahkan untuk mendukung proyek strategis seperti pembangunan jalan penghubung antar-kawasan, penataan kawasan industri dan perdagangan, serta pengembangan infrastruktur penunjang PSEL (Pengolahan Sampah Energi Listrik).
Namun, proyek-proyek ini membutuhkan tahapan panjang dan tidak serta-merta memberikan dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika tidak disertai peningkatan efektivitas investasi publik, pengadaan lahan justru dapat menimbulkan fenomena belanja timpang, di mana porsi besar APBD terserap untuk aset tanah yang belum termanfaatkan.
Transparansi dan Evaluasi Aset
Dalam konteks pengelolaan fiskal yang sehat, pembebasan lahan seharusnya disertai dengan pemetaan nilai manfaat (value mapping) dan audit pemanfaatan aset secara berkala. Pemerintah daerah juga diharapkan mampu menyeimbangkan antara belanja fisik dan belanja layanan publik agar pembangunan tidak kehilangan orientasi sosialnya.
APBD bukan hanya tentang membangun, tapi juga menjaga keseimbangan antara investasi infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai pembebasan lahan besar-besaran justru mengorbankan sektor pelayanan dasar.
Tantangan Fiskal 2026
Dengan kecenderungan kenaikan belanja tanah yang menembus Rp263 miliar, Kota Bekasi menghadapi tantangan besar untuk menjaga stabilitas fiskal. Jika tren pembebasan lahan terus berlanjut tanpa pengendalian, maka ruang belanja produktif untuk pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial bisa tertekan.
Tahun Anggaran 2026 akan menjadi ujian nyata bagi manajemen keuangan daerah Kota Bekasi, apakah strategi pengadaan lahan ini menjadi investasi jangka panjang, atau justru beban fiskal baru yang menunda kesejahteraan warga.
Ditulis: Tim Redaksi



