![]() |
| Kemacetan rutin di Margonda Depok |
DI setiap pagi hari, suara klakson bersahut-sahutan di sepanjang Jalan Margonda Raya, urat nadi Kota Depok. Barisan kendaraan merayap pelan sejak pukul enam. Dari arah Sawangan hingga perbatasan Pasar Minggu, laju roda seolah berpacu dengan kesabaran pengemudi. Bagi warga Depok, kemacetan bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan rutinitas harian yang tak terelakkan.
Kemacetan di Depok bukan sekadar persoalan lalu lintas, melainkan cermin dari tantangan tata kota yang tumbuh lebih cepat dari perencanaannya. Jika tidak segera ditangani dengan kebijakan transportasi terpadu, Depok bisa menjadi kota yang berhenti bergerak, bukan karena kehabisan energi, tapi karena terlalu banyak kendaraan di jalan.
Kota yang Tumbuh Terlalu Cepat
Depok kini menjelma sebagai kota penyangga paling dinamis di Jabodetabek. Data BPS 2024 menunjukkan penduduknya telah menembus 2,2 juta jiwa, naik hampir 10 persen dalam lima tahun terakhir. Namun di balik geliat urbanisasi, kota ini menghadapi persoalan klasik: jumlah kendaraan tumbuh jauh lebih cepat dibanding infrastruktur jalan.
Menurut data Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok, jumlah kendaraan bermotor meningkat rata-rata 11 persen per tahun, sementara penambahan panjang jalan baru hanya sekitar 1,5 persen.
“Pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan kapasitas jalan yang tersedia. Itu akar masalahnya,” ujar Kepala Dishub Depok, Dadang Wihana, ketika ditemui di kantornya.
Ruang Jalan yang Kian Tercekik
Ruas-ruas utama seperti Jalan Margonda, Juanda, dan Arif Rahman Hakim kini menjadi titik macet abadi. Bahkan pembangunan Tol Cijago dan Desari yang diharapkan mengurai kepadatan belum memberi dampak signifikan. Banyak pengendara masih menumpuk di pintu keluar tol karena akses jalan penghubung yang sempit dan tidak terintegrasi.
“Masalahnya bukan hanya volume kendaraan, tapi juga desain jaringan jalan yang belum menyebar merata,” jelas pengamat transportasi Institut Teknologi Nasional (Itenas), Reni Kusumah.
Ia menilai Depok membutuhkan jalan alternatif kolektor dan sistem transportasi cerdas (ITS) untuk mengatur lalu lintas secara adaptif di titik simpang padat.
Transportasi Publik yang Belum Terpadu
Sebagai kota penyangga Jakarta, KRL Commuter Line menjadi andalan warga Depok menuju ibu kota. Namun, lonjakan penumpang setiap pagi membuat stasiun seperti Depok Baru dan Citayam sering penuh sesak.
Masalahnya, moda pengumpan seperti angkot dan ojek daring belum terintegrasi. Banyak penumpang harus berpindah moda tanpa kepastian waktu.
“Kalau dari rumah ke stasiun aja macet, buat apa naik KRL?” keluh Rian (28), pegawai swasta yang tiap hari menempuh perjalanan dari Sawangan ke Sudirman.
Pemerintah sebenarnya telah menggagas Depok Transport Integration Plan, tapi hingga kini baru sebatas rancangan.
Tata Ruang yang Tak Teratur
Margonda kini tak hanya jalan, melainkan pusat aktivitas ekonomi dan sosial. Mal, kafe, kampus, dan hotel berdiri rapat di kiri-kanan jalan. Namun, sebagian besar gedung tak memiliki lahan parkir memadai. Akibatnya, trotoar berubah jadi tempat parkir liar, menambah sempit ruang jalan.
“Depok tumbuh terlalu cepat tanpa rencana tata ruang yang kuat,” ujar aktivis urban planning, Arif Rahadian dari komunitas Depok Bergerak.
“Pemerintah kota perlu berani menata ulang fungsi ruang publik dan membatasi izin bangunan di jalur padat.”sarannya.
Manajemen Lalu Lintas yang Lemah
Kemacetan juga diperparah oleh kurangnya rekayasa lalu lintas. Banyak persimpangan tidak memiliki pengaturan lampu lalu lintas adaptif. Kendaraan berat masih melintas di jam sibuk, sementara penertiban parkir liar sering bersifat musiman.
“Kami sedang menyiapkan sistem pengawasan berbasis kamera dan e-tilang,” ujar Dishub Depok Dadang.
“Namun implementasi penuh butuh dukungan anggaran dan infrastruktur digital.”sambungnya.
Harapan di Tengah Kepadatan
Meski jalanan kian padat, sebagian warga tetap optimistis. Inisiatif seperti rencana jalur bus rapid transit (BRT) Depok–Cibinong, pengembangan angkutan feeder terintegrasi KRL, dan penerapan parkir elektronik mulai diuji coba.
“Depok tidak bisa lagi bergantung pada mobil pribadi,” kata Reni Kusumah.
“Kota ini harus berpikir seperti kota metropolitan, menata transportasi publik, bukan sekadar memperlebar jalan.”tandasnya.
Oleh: Risky Andrianto



