Editorial: Rp20 Miliar BTT Dedi Mulyadi: Antara Kesiapsiagaan dan Risiko Pengawasan

Redaktur author photo

 

Dedi Mulyadi saat turun ke sungai saat terjadi banjir beberapa waktu lalu.

RENCANA Dedi Mulyadi mengalokasikan Rp20 miliar dari pos Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk penanganan kebencanaan patut diapresiasi. Di tengah meningkatnya potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor di Jawa Barat, kebijakan ini mencerminkan kesadaran pentingnya kesiapsiagaan daerah menghadapi situasi darurat.

Namun, di balik niat baik tersebut, publik berhak mengajukan pertanyaan: seberapa siap pemerintah daerah memastikan dana sebesar itu digunakan tepat sasaran, cepat, dan transparan?

Tanggap Darurat yang Harus Cepat dan Tepat

BTT memang dirancang untuk keperluan mendesak yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Dalam konteks kebencanaan, dana ini menjadi penolong pertama ketika bencana melanda, mulai dari evakuasi warga, penyediaan logistik, hingga rehabilitasi infrastruktur vital.

Dengan kondisi geografis Jawa Barat yang rawan banjir dan longsor, langkah menyiapkan anggaran besar tentu logis. Apalagi jika dibandingkan dengan kerugian ekonomi akibat bencana yang bisa menembus ratusan miliar rupiah.

Namun, kesiapsiagaan bukan hanya soal jumlah dana, melainkan kecepatan dan integritas pelaksanaan. Tanpa perencanaan teknis dan mekanisme pengawasan yang jelas, dana darurat bisa menjadi “tambang emas” bagi pihak-pihak yang ingin menunggangi krisis.

Risiko Transparansi dan Moral Hazard

Pos BTT dikenal sebagai anggaran paling fleksibel, karena penggunaannya tidak harus melalui proses panjang seperti kegiatan APBD reguler. Justru di sinilah letak tantangannya: fleksibilitas yang berlebihan bisa membuka ruang penyimpangan.

Pengalaman di banyak daerah menunjukkan, tidak sedikit kasus penggunaan BTT yang kemudian berujung pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau bahkan penegak hukum. Alasannya sederhana—minim dokumentasi, minim verifikasi, dan terkadang terlalu politis dalam penentuan penerima bantuan.

Karena itu, transparansi menjadi syarat mutlak. Pemerintah daerah perlu membuka data penggunaan BTT secara berkala, termasuk siapa penerima bantuan dan dasar penetapan kedaruratan. Dalam era digital, publikasi real-time semestinya bukan hal sulit.

Jangan Hanya Reaktif, Tapi Juga Preventif

Selain tanggap darurat, BTT seharusnya juga diarahkan pada aspek mitigasi bencana. Misalnya, pembangunan drainase di titik banjir, pelatihan relawan kebencanaan, atau sistem peringatan dini di daerah rawan longsor.

Jika dana hanya disiapkan untuk reaksi setelah bencana, maka siklus kerugian akan terus berulang tanpa solusi jangka panjang. Dengan Rp20 miliar yang dianggarkan, sebagian bisa dialokasikan untuk program edukasi dan pencegahan, bukan sekadar menunggu bencana datang.

Agar Tak Jadi 'Dana Darurat Politik'

Kehati-hatian juga diperlukan agar BTT tidak tergelincir menjadi alat politik terselubung menjelang tahun-tahun elektoral. Dana kebencanaan harus benar-benar berpihak pada korban bencana, bukan pada pencitraan pejabat atau simbol kekuasaan.

Editorial ini menegaskan, anggaran darurat harus dijalankan dengan semangat kemanusiaan, bukan kepentingan.

Dan akhirnya, Rp20 miliar dana BTT bisa menjadi penyelamat warga saat bencana datang, atau sebaliknya menjadi 'bencana anggaran jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Transparansi, pengawasan publik, dan komitmen moral pemimpin daerah adalah kunci agar kebijakan tanggap darurat ini tidak kehilangan makna kemanusiaannya.

#DediMulyadi #BTT #BencanaJawaBarat #APBD2025 #inijabarEditorial #TransparansiAnggaran #MitigasiBencana

/btt-20-miliar-dedi-mulyadi-kesiapsiagaan-dan-pengawasan

Kolom Redaksi | inijabar.com Kamis (6/11/2025)

'Berpihak pada Kebenaran, Mengawal Kebijakan untuk Rakyat'.



Share:
Komentar

Berita Terkini