![]() |
| Ilustrasi |
DALAM kebijakan proses mutasi/promosi yang dilakukan Walikota Bekasi Tri Adhianto yang dilakukan beberapa waktu lalu dengan melantik sebanyak 250 pejabat di lingkup Pemkot Bekasi.
Kontroversi pun muncul bukan soal jumlah yang cukup banyak. Namun beberapa hal seperti diangkatnya seorang staf di rumah sakit daerah dan langsung menjadi eselon 4. Selain itu yang lebih mencengangkan publik di Kota Bekasi dengan dikosongkanya jabatan Kepala Inspektorat di Pemkot Bekasi dan tersiar kabar akan diangkat seorang Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Inspektorat.
Di tengah semangat reformasi birokrasi dan penguatan tata kelola pemerintahan, posisi Kepala Inspektorat memiliki arti strategis. Lembaga ini adalah 'mata dan telinga' kepala daerah dalam memastikan roda pemerintahan berjalan bersih, efisien, dan akuntabel. Namun, apa jadinya bila posisi penting ini hanya diisi oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt)?
Secara administratif, pengisian jabatan Plt memang diizinkan. Ia dianggap sebagai solusi sementara agar roda organisasi tidak berhenti. Namun dalam konteks Inspektorat, pengisian jabatan kepala oleh Plt justru menimbulkan banyak resistensi — baik dari sisi hukum, etika pemerintahan, maupun efektivitas pengawasan.
Kewenangan yang Terbatas
Seorang Plt hanya berwenang menjalankan tugas rutin dan administratif. Ia tidak dapat mengambil kebijakan strategis, melakukan mutasi, atau menandatangani keputusan penting yang berimplikasi hukum besar. Ketentuan ini ditegaskan dalam Surat Edaran BKN Nomor 1/SE/I/2021 serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Dalam konteks pengawasan, pembatasan ini membuat peran Inspektorat menjadi tumpul. Hasil audit atau laporan pemeriksaan bisa kehilangan kekuatan hukum jika ditandatangani oleh pejabat yang belum definitif. Akibatnya, rekomendasi pengawasan rawan diperdebatkan atau bahkan diabaikan.
Independensi yang Melemah
Lebih dari sekadar urusan administrasi, persoalan terbesar dari penunjukan Plt adalah potensi hilangnya independensi. Plt diangkat dan sewaktu-waktu bisa diganti oleh kepala daerah. Situasi ini menempatkan Inspektorat dalam posisi dilematis: antara menjalankan fungsi pengawasan secara profesional atau mempertahankan loyalitas politik kepada pemberi mandat.
Dalam banyak kasus di daerah, kondisi seperti ini membuat fungsi Inspektorat lebih menyerupai pelengkap formalitas. Ia kehilangan ketegasan dalam mengoreksi penyimpangan kebijakan publik.
Dampak terhadap Akuntabilitas Daerah
Kelemahan kepemimpinan di Inspektorat berimbas langsung pada penilaian akuntabilitas pemerintahan daerah. Nilai maturitas SPIP dan kapabilitas APIP yang menjadi indikator kinerja pengawasan bisa merosot. Begitu pula dengan kepercayaan lembaga eksternal seperti BPK.
Pertanyaan pun muncul di benak publik, apakah kondisi tersebut yang memang sengaja diciptakan walikota Bekasi atau khilaf?.
Ditulis: Tim Redaksi



