![]() |
| Ilustrasi |
PEMERINTAH Kota Bekasi meluncurkan program dana hibah Rp100 juta untuk setiap RW sebagai insentif pembangunan lingkungan dan inovasi berbasis warga.
Program yang diperkirakan menyasar sekitar 1.020 RW dengan total pagu lebih dari Rp102 miliar ini langsung menuai pujian sekaligus kecemasan: ada yang melihatnya sebagai terobosan pemerataan; ada pula yang khawatir soal akuntabilitas, beban administratif, dan potensi konflik internal.
Pemkot Bekasi menyatakan dana hibah ini diperuntukkan bagi program penataan lingkungan (mis. renovasi posyandu, penerangan jalan, taman), pengelolaan sampah (bank sampah, pengumpulan minyak jelantah), serta inisiatif lain hasil musyawarah RW.
Namun pernyataan tersebut berbeda dengan yang dikatakan Ketua DPRD Kota Bekasi Sardi Efendi di sejumlah media lokal. Dia mengingatkan, bantuan Rp100 juta per RW jangan untuk infrastruktur lingkungan.
Hal itu dikatakan politisi asal PKS tersebut karena akan mulai pencairan anggaran tersebut di November 2025. Bagi pengurus RW yang telah mengajukan proposal dan dokumen pendukung akan dicairkan segera.
Pemerintah menekankan adanya persyaratan administrasi dan laporan pertanggungjawaban.
Titik-titik Polemik
1. Minimnya sosialisasi dan aturan yang berubah-ubah.
Ketua RW dan anggota DPRD melaporkan kebingungan teknis: syarat berubah, sosialisasi belum merata, sehingga banyak pengurus belum siap mengajukan proposal.
2. Risiko 'jebakan' hukum bagi ketua RW. Sejumlah ketua RW menyebut kekhawatiran bahwa salah penggunaan atau administrasi bisa membuat mereka berhadapan dengan proses hukum (prodeo), sehingga posisi pengurus menjadi rentan.
[cut]
![]() |
| Ilustrasi |
3. Ketidakadilan alokasi relatif antar-RW Kritik muncul bahwa besaran flat Rp100 juta per RW tidak mempertimbangkan perbedaan jumlah RT, kebutuhan, atau skala RW, sehingga bisa terasa timpang.
4. Potensi korupsi mikro dan konflik internal.
Tanpa pengawasan dan mekanisme partisipatif, dana besar di level mikro bisa memicu penyalahgunaan atau gesekan kepentingan di tingkat masyarakat.
Analisis: mengapa program ini muncul sekarang
Politik publik dan pemerataan:
Inisiatif ini tampak sebagai strategi pemerataan dana pembangunan langsung ke basis warga (desentralisasi mikro). Di sisi komunikasi pemerintah, program dipromosikan sebagai cara mempercepat proyek kecil yang sukar masuk anggaran rutin.
Keinginan cepat terlihat hasil: Bagi pemerintahan pasangan Tri-Harris ini sedang ingin menunjukkan 'hasil cepat', skema hibah per-RW efektif karena proyeknya yang relatif kecil dan berdampak visual (posyandu, gapura, taman).
Risiko manajemen: kapasitas & kultur akuntabilitas:
Banyak RW tidak dibentuk sebagai unit pengelola keuangan kompleks, manajemen, pembukuan, dan transparansi belum tentu siap, sehingga kebutuhan pendampingan teknis besar.
Dampak potensial (positif & negatif)
[cut]
Positif
Mempercepat perbaikan fasilitas publik lokal (posyandu, taman, penerangan).
Memicu partisipasi warga bila proses dipimpin musyawarah dan diawasi transparan.
Negatif
Risiko penyalahgunaan atau korupsi mikro bila pengawasan dan mekanisme audit lemah.
Tekanan hukum pada pengurus RW jika administrasi tidak sempurna; menimbulkan reluctance menjadi pengurus.
Ketidaksetaraan antar-RW (sama dana, beda kebutuhan), sehingga efektivitas terdilusi.
Rekomendasi praktis agar program tidak jadi masalah
1. Sosialisasi massal & panduan standar Buat modul SOP pengajuan, penggunaan, dan SPJ (contoh template proposal, daftar belanja yang boleh/tidak boleh). Pemerintah harus gelar sosialisasi kecamatan-per-kecamatan.
2. Pembangunan kapasitas- Pendampingan akuntansi sederhana untuk ketua RW (pelatihan pencatatan, kwitansi, pelaporan digital sederhana).
3. Skema pengawalan dan audit berbasis risiko, Audit acak + verifikasi fisik proyek; libatkan inspektorat dan lembaga masyarakat/LSM untuk pengawasan.
4. Mekanisme partisipatif & transparansi Publikasikan proposal yang disetujui dan realisasi pengeluaran di papan pengumuman RW/portal publik.
5. Penyesuaian alokasi jika perlu Pertimbangkan variabel penyesuaian (jumlah RT, kepadatan, kondisi infrastruktur) pada gelombang berikutnya agar lebih adil.
[cut]
Program Rp100 juta per RW berpotensi kuat menjadi solusi percepatan pembangunan lingkungan di tingkat paling bawah, jika disertai sosialisasi, pendampingan teknis, dan pengawasan ketat. Tanpa itu, program berisiko menimbulkan masalah baru: konflik, beban hukum bagi pengurus, dan penyalahgunaan dana. Polemik yang terjadi saat ini lebih banyak soal kesiapan implementasi ketimbang gagasan pokoknya, sehingga perbaikan tata kelola adalah kunci sukses.
Ditulis:Tim Redaksi






