Reformasi Polri: Saatnya Menutup Celah Rangkap Jabatan Sipil Secara Permanen

Redaktur author photo

 

Ilustrasi

SEJAK lama, isu polisi aktif yang menduduki posisi sipil menjadi perhatian dalam dinamika reformasi Polri. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menandai titik balik penting: MK tegas menyatakan bahwa anggota Polri aktif harus mundur atau pensiun jika ingin menempati jabatan sipil. 

Mengapa Angka 4.351 Jadi Sorotan?

Saksi ahli dalam persidangan MK menyebut ada 4.351 anggota Polri aktif yang rangkap jabatan di instansi sipil.  Dari jumlah itu, 1.184 adalah perwira, sedangkan 3.167 adalah Bintara atau Tamtama. 

Angka ini bukan sekadar statistik, ia menggambarkan skala sistemik dari fenomena rangkap jabatan di tubuh Polri. Dan yang menjadi kekhawatiran utama adalah: apa dampaknya bagi profesionalisme Polri dan akuntabilitas birokrasi sipil?

Konflik Kepentingan & Netralitas yang Tergerus

Ketika polisi aktif menjabat sebagai ASN sipil, loyalitas ganda menjadi isu serius. Dalam perdebatan hukum sebelumnya, Pasal 28 ayat (3) UU Polri menyatakan bahwa polisi bisa menjabat di luar kepolisian “setelah mengundurkan diri atau pensiun.”  Namun, penjelasan pada pasal tersebut menambahkan frasa 'atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri', yang jadi celah hukum. 

Menurut MK, frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan memungkinkan polisi aktif duduk di posisi sipil tanpa kehilangan status keanggotaannya.  Dengan menghapus frasa itu, MK mendorong pemisahan fungsi yang lebih tegas: Polri sebagai institusi keamanan, birokrasi sipil sebagai institusi administrasi negara.

Implikasi Putusan MK: Momentum Reformasi Struktural

Putusan MK ini bukan sekadar koreksi teknis ini adalah peluang reformasi struktural Polri:

1. Penguatan profesionalisme Polri

Polisi aktif harus kembali fokus pada tugas inti: menjaga keamanan, menegakkan hukum, melindungi masyarakat. Dengan mundur dari jabatan sipil, distraksi birokrasi bisa berkurang.

2. Pemulihan meritokrasi birokrasi

Posisi sipil strategis di kementerian/lembaga harus diisi dengan orang yang benar-benar berlatar birokrasi sipil, bukan “penugasan” polisi aktif yang bisa melewati promosi melalui jalur militer atau keamanan.

3. Transparansi dan akuntabilitas

Penempatan perwira Polri di instansi sipil harus diperjelas dan dipantau. Siapa dia, jabatan apa, berapa lama publik dan lembaga pengawas harus tahu.

4. Pemulihan kepercayaan publik

Netralitas Polri adalah modal penting dalam menjaga stabilitas demokrasi. Dengan menghapus praktik rangkap jabatan, publik bisa melihat Polri sebagai institusi yang lebih independen dan profesional.

Sejumlah Pakar menyebut putusan MK ini bersifat 'samt merta' (langsung berlaku).  Maka, eksekusi harus cepat dan tegas agar 4.351 anggota Polri yang rangkap jabatan tidak menjadi 'kasus abadi'.

Pemerintah, terutama instansi terkait seperti Kementerian Sekretariat Negara, harus memastikan peralihan terjadi secara mulus. Polri juga perlu membangun kebijakan internal untuk mendorong pensiun atau alih status.

Putusan MK harus menjadi awal, bukan akhir. Lembaga pengawas seperti Komisi III DPR, KPK, atau lembaga independen lainnya perlu mengawasi agar tidak muncul celah baru di kemudian hari.

Reformasi Polri Harus Lebih dari Maraton Lip Service

Putusan MK tentang larangan rangkap jabatan adalah kemenangan konstitusional dan moral. Namun, kemenangan ini harus dijadikan bahan bakar untuk reformasi nyata. Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, reformasi Polri bisa memperkuat profesionalisme aparat, menjaga netralitas, dan memastikan birokrasi sipil dikelola secara meritokratis.

Ini bukan hanya soal 'menutup celah hukum', tetapi soal membangun institusi negara yang lebih sehat, efisien, dan dipercaya publik. Jika tidak ditindaklanjuti dengan reformasi struktural, maka risiko kembali ke praktik lama dan melemahnya akuntabilitas Polri tetap sangat nyata.

Ditulis sebagai Opini tim Redaksi

Share:
Komentar

Berita Terkini