inijabar.com, Jakarta- Di balik poster-poster manis tentang 'Haji 1447 H – Lebih Nyaman, Lebih Tertib', ada satu kenyataan yang tak banyak dibahas yakni kalender Indonesia dan Arab Saudi sedang tidak akur.
Bukan persoalan beda zona waktu, tapi beda tenggat yang berpotensi membuat ribuan calon jemaah haji 2026 terjebak kegelisahan massal antara pelunasan yang telat, kontrak layanan yang terhambat, hingga visa yang terancam tidak terbit.
Masalah sederhana tapi efeknya sistemik: Arab Saudi sudah menutup pintu kontrak layanan jauh sebelum Indonesia membuka pintu pelunasan. Ibaratnya, tuan rumah sudah siap menggelar pesta, tapi tamunya belum memutuskan mau datang atau tidak.
Ketika Deadline Tidak Selaras
Arab Saudi memasang deadline ketat seperti, pembayaran layanan dasar (camp & masyair): Desember 2025, finalisasi kontrak layanan yakni awal Januari 2026
Pembayaran akomodasi Mekkah–Madinah: Januari 2026
Di sisi lain, Indonesia baru membuka pelunasan reguler akhir November 2025, dengan jemaah yang biasanya menunggu 'detik-detik terakhir' sebelum melunasi. Akibatnya, PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) dan penyelenggara haji di Indonesia berada di posisi mirip pedagang pasar- harus booking lapak dulu, sementara uang dari calon pembeli belum masuk.
Hasilnya?
Kontrak terhambat, layanan tersendat, dan visa berisiko tidak terproses.
Jemaah: Menabung Bertahun-Tahun, Tapi Terancam Tidak Berangkat
Bagi calon jemaah, isu timeline ini bukan sekadar administrasi. Mereka menabung puluhan tahun, menunggu antrean belasan tahun, tetapi perjalanan suci mereka bisa tertahan hanya karena kedua negara “tidak klik” dalam soal tanggal.
Di berbagai daerah, jemaah sudah mulai bertanya-tanya:
“Kalau pelunasan telat, apa saya tetap bisa berangkat?”
“Kalau kontrak belum jadi, apa layanan bisa dipastikan?”
Tak ada yang bisa menjawab dengan tegas. Ketidakpastian ini kian terasa menjelang akhir tahun, ketika dokumen, pelunasan, dan persiapan harus saling mengejar ketertinggalan.
ASPHIRASI: Sudahi Drama Deadline, Samakan Kalender!
Aliansi Pengusaha Haramain Seluruh Indonesia (ASPHIRASI), angkat suara. Mereka membaca benang kusut ini bukan sebagai kesalahan jemaah, tapi sebagai persoalan tata kelola.
ASPHIRASI mendorong dua hal penting:
1. Harmonisasi Timeline
Timeline pelunasan Indonesia harus bergeser lebih awal agar sejalan dengan deadline Saudi.
Jika Saudi butuh komitmen sebelum Januari, maka Indonesia tidak bisa bersantai membuka pelunasan di akhir November.
2. Penyederhanaan Syarat Pelunasan
Banyak jemaah tersendat bukan karena tidak ada uang, tetapi karena syarat-syarat administrasi yang berlapis.
Mulai dari dokumen, rekening, sampai medical check-up.
ASPHIRASI mendorong agar syarat dipangkas, dipermudah, dan disosialisasikan jauh-jauh hari.
Karena bagi mereka, haji bukan soal kecepatan mengejar deadline, tetapi soal prioritas melayani umat.
Dampak Sistemik Jika Tidak Dibenahi
Jika kondisi ini dibiarkan, efek domino sudah terlihat seperti visa berpotensi tertunda massal, kontrak akomodasi rawan hangus, jemaah yang sudah lunas bisa tetap gagal berangkat.
PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) harus menanggung risiko finansial besar. Reputasi penyelenggaraan haji Indonesia bisa tercoreng
Bahkan beberapa PIHK menyebut situasi ini sebagai Bom waktu yang meledak setiap tahun, tapi selalu dibiarkan.
Kita Butuh Sistem yang Sinkron, Bukan Sekadar Seremonial
Isu haji 2026 ini membuka mata bahwa tata kelola haji bukan sekadar soal kuota dan embarkasi.
Di baliknya ada diplomasi kalender, manajemen pembayaran, dan kepastian layanan.
Ketika timeline dua negara tidak sinkron, yang menjadi korban bukan institusi, tapi jemaah yang sudah menunggu separuh hidupnya.
Waktunya Pemerintah Bergerak Lebih Cepat dari Deadline
ASPHIRASI sudah menyuarakan, PIHK sudah mengingatkan, jemaah mulai gelisah. Kini bola ada di tangan pemerintah.
Kalender 2026 tidak akan berubah. Deadline Arab Saudi tidak akan ditawar. Satu-satunya yang bisa bergerak cepat adalah kebijakan di dalam negeri.
Haji adalah ibadah yang dimimpikan. Jangan sampai mimpi panjang itu kandas hanya karena kalender yang tidak sinkron.(*)



